14 April 2011

Boleh Nyeleneh Asalkan Ramah Lingkungan

SINTEN REMEN, siapa suka. Frasa bahasa Jawa itu menjadi nama kelompok orkes keroncong kontemporer dari Yogyakarta. Kelompok musik yang digagas Gregorius Djaduk Ferianto dengan kelompok musik utamanya Kua Etnika itu memang dikenal dengan eksperimennya meramu beragam aliran musik alias crossover. Dengan sentuhannya, musik-musik tradisional Tanah Air pun terdengar lebih seru setelah diselipi irama jazz atau blues, misalnya.

Gairah Djaduk mencampur-campur itu tidak hanya tertuang pada musik, tapi juga terpacak pada rumahnya, yang berada di tengah-tengah perkampungan Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Karakter arsitekturalnya merupakan perpaduan yang baru dengan lama, dari konsep sampai perabotan. "Rumah baru tapi jangan terlihat baru," kata Djaduk. Dia menyebut langgam arsitektural rumahnya art deco, etnik, sekaligus kontemporer.

Jadilah rumah dua tingkat beratap limasan-seperti gaya atap rumah sekitar-dengan susunan batu bata tanpa plester pada dinding depan dan rumah induk. Selain pepohonan menghijau, pagar bata mengelilingi rumah di atas lahan seluas 450 meter persegi itu. Secara umum bahan materialnya "campur sari". Selain bata merah, digunakan batu kali untuk sebagian dinding lantai bawah, kaca serta kayu untuk kuda-kuda atap, tangga, pintu, dan jendela.

Tak ada keseragaman pada lantai rumah Djaduk. Penulis Artha Ariadina memaparkan, ubin yang dipasang berbeda-beda di tiap ruang-seperti dituangkan dalam bukunya, Bedah Rumah Orang Beken. Pada ruang tamu dipasang tegel kuno rumah Belanda, dan di dekatnya ditata marmer dari ukuran kecil sampai besar. Ruang makan beralas lantai kayu. Lantai di teras disusun dari keramik dengan motif berbeda-beda. Di bagian atas, plafon menggunakan lembaran anyaman bambu alias gedek.

Ruangan lantai bawah dibagi untuk dua kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, kamar mandi, dapur, dan ruang makan. Ruang-ruang itu melingkari sebuah kolam ikan di bagian tengah rumah. Tangga kayu menghubungkan ke lantai dua, yang ruang-ruangnya juga mengitari area terbuka. Masing-masing didesain sesuai dengan suasana yang diinginkan. Ruang makan di teras samping, misalnya, didesain menyerupai warung makan lengkap dengan kursi panjang. Pintu-pintu kamar tidur juga ditempeli nomor. "Biar seperti di losmen," kata Djaduk.

Kesegaran tidak hanya disumbang oleh banyaknya ventilasi, tapi juga karena rumah itu memang terbuka, yang menjadi ciri karya-karya arsiteknya, Eko Prawoto. Tak ada atap di atas kolam tengah rumah. Rumah yang terbuka juga mengundang cahaya. Itu pun masih dianggap kurang oleh empunya. Maka lubang-lubang bertutup kaca dibuat di atas tangga. Praktis tak perlu listrik untuk lampu pada siang hari, apalagi mesin penyejuk udara.

Material bangunan dan perabotan rumah tersebut didominasi barang-barang lama (lawasan). Dari kusen, daun pintu dan jendela, lubang ventilasi, perabot meja-kursi, hingga pernak-pernik dan hiasan dindingnya. "Beli di gudang bongkaran rumah," kata Djaduk. Barang-barang itu hasil perburuan Djaduk dan keluarganya. Lebih kuno lebih memuaskan. Pagar rumah, misalnya, sebelumnya adalah terali rumah peninggalan Belanda, sedangkan jendela-jendela tua dari bangunan tua di Semarang.

Penggunaan bahan bekas sebagai material bangunan menantang kreativitas pembangunannya. Tepian tegel-tegel kuno banyak yang rusak dan tidak rata. Akhirnya tepian dicor dengan fiber, yang menambah keindahan. Tekstur kayu yang berbeda-beda atau besi panjang-pendek juga bisa disusun seakan partitur not.

Ide yang "berantakan" itu tentu merepotkan proses mendesain rumah sejak awal dan saat membangunnya. Untung, Djaduk berkolaborasi dengan arsitek Eko Prawoto, yang bisa memahaminya. Untuk itu, Djaduk melakukan pertemuan intensif dengan sang arsitek selama dua bulan pada awal 2004 dan survei ke beberapa rumah di Yogyakarta. Semuanya guna menjawab permintaan Djaduk: rumah yang ora umum atau nyeleneh.

Sebelumnya, kedua seniman itu bertemu ketika Eko merancang rumah Butet Kartaredjasa, kakak Djaduk. Rumah Butet dibangun sejak 2001, dan hasilnya rumah yang unik. Rumahnya terdiri atas beberapa bangunan terpisah dengan model berbeda-beda, berdiri di atas lahan seluas total 1.500 meter persegi. Ada joglo, rumah limas, di antara ruang terbuka dengan pepohonan rimbun dan tanaman merambat. Lokasinya di tengah-tengah perkampungan warga, satu kawasan dengan rumah Djaduk.

Senada dengan karya Eko yang lain, rumah Butet terbuka dengan plafon tinggi. Sama juga dengan adiknya, Butet penggemar barang-barang lawasan untuk material atau perabotan rumah. Barang-barang lama hadir berdampingan dengan karya-karya seni penghias rumah.

Salah satu yang terkenal dari rumah Butet adalah "tangga sejarah" di dekat ruang tamu. Sebuah tangga kayu "melayang" dengan pegangan alat bajak sawah. Dalam undakan berlubang dipasang lembaran wesel atau bukti pembayaran honor Butet atas tulisannya di media.

Butet juga sangat menghargai hidup tanaman-tanaman di sekeliling rumahnya, sehingga dia memilih mengalah dalam membangun rumah, dengan menyesuaikan liuk bangunan dengan geliat tumbuh pepohonan. "Semua bangunan merespons tanaman yang sudah ada," demikian ditulis Artha. Contohnya, pada salah satu bangunan terdapat tembok yang dibangun miring dengan lubang. Bukan untuk gaya belaka, ternyata demi menyesuaikannya dengan pohon sawo tua yang miring dan tempat tumbuh cabang pohon. Pohon nangka di dapur pun terus tumbuh dengan menerobos lubang atap kaca.

Rumah yang terbuka, tidak melawan alam, penggunaan material alami, dan sentuhan keunikan sesuai dengan karakter pemilik menjadi benang merah karya-karya rumah seniman oleh Eko Prawoto. Selain di rumah Djaduk dan Butet, perpaduan itu terlihat di studio Nasirun, perupa dari Yogyakarta. Rumah studio berdampingan dengan rumah utama dan difungsikan untuk galeri dan tempat berkreasi.

Eko kembali menghadirkan suasana terbuka dan luas pada rumah itu. Atap dibuat tinggi dengan bentuk terbuka dan hanya tertutup kaca agar pencahayaan tercukupi dan terkesan luas. Bambu tidak digunakan untuk plafon karena takut mengganggu perhatian pada karya-karya lukisan. Sebagai gantinya, dipasang puluhan kuda-kuda kayu yang laiknya karya instalasi.

Pola yang sama dijumpai pada rumah sastrawan Sitok Srengenge. Pemandangan umum yang langsung terlihat adalah dominasi bahan-bahan alami, seperti batu kali, bambu, dan ornamen-ornamen bangunan tua. Kembali ditegaskan, atap rumah Sitok pun tinggi dengan jendela-jendela besar yang menghadirkan pemandangan hutan di luar. Seperti rumah-rumah seniman lain, pesan dan semangat yang diusung sama: boleh nyeleneh asalkan tetap ramah lingkungan.

sumber: majalah.tempointeraktif.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar