18 April 2011

Pulitzer dan Kematian Tragis Sang Jurnalis

Kevin Carter, seorang Journalist, awal tahun 1993, berangkat ke Sudan dengan niatan untuk mengambil foto pemberontakan yang terjadi di negara yang tengah dilanda konflik itu. Namun sesampainya di sana, justru bencana kelaparan yang menarik minatnya. Di jalan, dia mendapati seorang bocah perempuan kelaparan yang sedang merangkak lemah. Tubuhnya yang kurus kering tinggal tulang, dengan susah payah menuju pusat pembagian makan. Beberapa kali perempuan kecil itu berhenti di tengah jalan untuk mengumpulkan tenaga.


Tragisnya, di tengah kejadian itu, datang seekor burung bangkai, seolah-olah memperhatikan dan menunggu bocah tersebut hingga benar-benar jatuh dan mati. Carter-pun mengabadikan kejadian tersebut. Alhasil, fotonya yang menyentuh hati nurani siapapun yang melihatnya itu mendapatkan hadiah Pulitzer pada 23 Mei 1994.

Foto ini pertama dimuat di koran New York Times. Begitu muncul, reaksi keras bermunculan. Publik mengkritik Carter yang tidak menolong gadis kecil ini. Carter beralasan dia sudah mengusir burung bangkai tersebut sesudah mengambil foto, namun tidak menolong si bocah karena konvensi fotografer yang tidak boleh ikut campur dalam konflik.

Kontroversi terus menghujani Carter. Hadiah Pulitzer yang dia terima atas karya terbaiknya itu justru membuatnya semakin tertekan dan depresi. Hingga akhirnya, dua bulan setelah penerimaan penghargaan itu, Carter ditemukan tewas bunuh diri di Johannesburg, Afrika Selatan. Journalist yang kini menjadi catatan sejarah Pulitzer itu, dengan sengaja mengalirkan gas CO dari knalpot mobil ke dalam ruangannya.

Dia meninggalkan catatan yang isinya berupa penyesalan dan kesedihan karena tidak menolong si bocah, frustasi akibat terjerat hutang dan kesedihan karena sahabat karibnya tertembak. Dari cerita rekannya, ia pernah mengatakan bahwa dirinya merasa begitu berdosa karena telah meninggalkan bocah tersebut dan lebih mementingkan pekerjaan ketimbang tugas kemanusiaan. Ia kuatir burung itu benar-benar memakan si bocah yang naas itu. Dan dengan menerima hadiah penghargaan itu ia juga merasa bersalah karena menang atas penderitaan orang lain.

Foto ini selalu mengingatkan akan tragedi kemanusiaan di Afrika dan tragedi dalam dunia fotografi itu sendiri, keduanya memang tidak bisa dipisahkan.

sumber: jongjava.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar