14 April 2011

Dahsyatnya Ambisi Bangsa Inca

Oleh HEATHER PRINGLE

Di Pulau Taquile yang terpencil di Peru, di tengah Danau Titicaca yang indah , ratusan orang berdiri dalam keheningan di alun-alun tatkala seorang pastor Katolik Roma memanjatkan doa. Sebagai keturunan orang-orang yang dikirim ke situ oleh penjajah Inca lebih dari 500 tahun yang silam, penduduk Taquile masih menjalani gaya hidup tradisional suku Inca. Mereka menenun kain berwarna cemerlang, berbicara dalam bahasa tradisional Inca, dan menangani ladang sebagaimana yang biasa dilakukan leluhur mereka selama berabad-abad. Pada hari-hari festival, mereka berkumpul di alun-alun untuk menari diiringi suara seruling dan tabuhan tambur.

Pada hari itu, di suatu siang yang nyaman di musim panas, sebagai orang luar, saya menonton mereka yang merayakan festival Santiago, atau festival St. James. Pada zaman Inca dahulu, festival ini pastilah festival Illapa, dewa halilintar Inca. Di saat upacara doa sudah hampir selesai, empat orang pria berbaju hitam mengangkat tandu kayu buatan tangan yang mengusung patung Santiago yang dilukis. Pengusung tandu mengusung patung orang suci itu agar terlihat dari seluruh penjuru alun-alun, sama seperti di masa lalu tatkala suku Inca memanggul mumi para raja yang mereka hormati.

Berabad-abad setelah mereka wafat, nama para raja Inca itu masih meninggalkan kesan digdaya dan berambisi: Viracocha Inca (Penguasa Dewa Pencipta), Huascar Inca (Penguasa Rantai Emas), dan Pachacutec Inca Yupanqui (Pencipta Ulang Dunia). Dinasti raja Inca yang bangkit dari keterpurukan di Lembah Cusco, Peru pada abad ke-13 telah memikat, menyuap, mengintimidasi, atau menaklukkan semua pesaing mereka guna menciptakan kerajaan pra-Columbia terbesar di Dunia Baru.

Untuk waktu yang lama para ilmuwan tidak tahu banyak tentang kehidupan para raja Inca, selain aneka kisah sejarah muluk-muluk yang oleh para bangsawan Inca dikisahkan tidak lama setelah tibanya penjajah Spanyol. Suku Inca tidak memiliki sistem huruf hieroglif, seperti yang dimiliki suku Maya, dan gambar para raja yang dilukis para seniman Inca pun sudah lenyap. Istana kerajaan Cusco, ibukota Inca, dengan cepat jatuh ke tangan para penakluk dari Eropa, dan sebuah kota kolonial Spanyol yang baru dibangun di atas reruntuhannya, sehingga mengubur atau menghancurkan peninggalan masa lalu suku Inca. Pada masa yang lebih kini, terjadi kerusuhan sipil di kawasan Andes Peru pada awal 1980-an, dan hanya sedikit ahli arkeologi berani memasuki daerah pedalaman Inca selama lebih dari satu dasawarsa.

Sekarang para ahli arkeologi berupaya keras meneliti kawasan itu. Saat meneliti lereng pegunungan di dekat Cusco, mereka menemukan ribuan situs yang sebelumnya tidak dikenal, sehingga berhasil menggali informasi baru tentang asal-usul dinasti Inca. Dengan mengumpulkan sedikit-sedikit petunjuk dari dokumen masa penjajahan, mereka berhasil menemukan lokasi wilayah kekuasaan para raja Inca yang pernah tak dikenali itu dan mengkaji hubungan yang rumit antara para raja dan para abdi dalam lingkungan rumah tangga. Sementara itu, di garis depan kerajaan yang hilang itu, para ahli arkeologi berhasil menata kembali kepingan bukti dramatis tentang pertempuran yang dikobarkan para raja Inca serta pertempuran psikologis yang mereka lancarkan untuk memaksa puluhan kelompok etnis yang saling curiga menjadi satu kerajaan yang padu. Kemampuan mereka yang luar biasa untuk meraih kemenangan di medan perang dan membangun suatu peradaban, secara bertahap, merupakan isyarat yang amat jelas, kata Dennis Ogburn, ahli arkeologi di University of North Carolina at Charlotte: “Sepertinya mereka berkata, Kamilah kelompok yang paling berkuasa di dunia, jadi jangan sekali-kali berani menantang kami.”

Suatu siang yang benderang di bulan Juli, Brian Bauer, ahli arkeologi dari University of Illinois at Chicago, berdiri di alun-alun yang luas di situs upacara suku Inca di Maukallacta, bagian selatan Cusco. Dia minum dari botol airnya, kemudian menunjuk ke tonjolan batu abu-abu yang menjulang tinggi, tidak jauh ke arah timur. Tampak tangga batu berukuran besar-besar tertatah di puncaknya yang bergerigi, bagian dari kuil Inca yang penting. Sekitar 500 tahun yang silam, kata Bauer, para peziarah berdatangan ke kawasan ini untuk melakukan pemujaan di tonjolan batu yang curam, yang di masa lalu dipandang sebagai salah satu tempat paling keramat di kerajaan itu: tempat kelahiran dinasti Inca.

Bauer, pria 54 tahun yang bertubuh langsing, namun berotot, bertopi pet usang dan celana jins biru, pertama kali mengunjungi Maukallacta pada awal 1980-an untuk meneliti asal-usul Kerajaan Inca. Pada saat itu, kebanyakan ahli sejarah dan ahli arkeologi percaya bahwa Alexander Agung Andes yang cemerlang dan masih muda bernama Pachacutec menjadi Raja Inca yang pertama pada awal 1400-an. Dia mengubah sekumpulan kecil rumah gubug dari tanah menjadi sebuah kerajaan hebat semasa hidupnya. Bauer tidak memercayainya. Dia yakin bahwa dinasti Inca memiliki asal-usul yang jauh lebih tua, dan Maukallacta tampaknya merupakan tempat yang masuk akal untuk mencarinya. Dia sungguh kecewa ketika penggalian selama dua musim panas tidak memberikan bukti apa pun tentang para raja Inca yang hidup lebih awal daripada masa Pachacutec.

Maka, Bauer bergeser ke utara, ke Lembah Cusco. Bersama mitra kerjanya, R. Alan Covey, ahli arkeologi yang saat ini bertugas di Southern Methodist University (SMU) di Dallas, dan tim asisten warga Peru, dia mendaki dan menuruni lereng gunung yang terjal menurut garis lurus selama empat musim panas, mencatat setiap pecahan tembikar yang berserakan atau dinding batu yang sudah runtuh yang ditemukannya. Kegigihannya membuahkan hasil. Pada akhirnya, Bauer dan rekan-rekan kerjanya berhasil menemukan ribuan situs Inca yang tidak diketahui sebelumnya, dan bukti baru itu mengungkapkan untuk pertama kalinya bahwa peradaban Inca dimulai jauh lebih awal daripada yang diyakini sebelumnya—antara tahun 1200 dan 1300. Para penguasa purba di kawasan itu, para bangsawan Wari (Huari) yang perkasa, yang memerintah dari sebuah ibukota di dekat Ayacucho modern, terjungkal pada tahun 1100, antara lain karena musim kering ganas yang melanda kawasan Andes selama satu abad atau lebih. Pada masa kekacauan yang kemudian terjadi, para ketua suku di seluruh dataran tinggi Peru berperang memperebutkan air yang langka dan hal ini menyebabkan para perusuh beranjak ke pedesaan di dekatnya untuk mencari makanan. Sejumlah besar pengungsi menyelamatkan diri menuju tempat persembunyian yang dingin dan berangin kencang di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut.

Namun, di lembah subur yang sistem pengairannya baik di sekitar Cusco, para petani Inca tetap bertahan di tanah mereka. Alih-alih tercerai-berai dan saling memerangi sesama, beberapa pedesaan Inca bersatu membentuk sebuah negara kecil yang mampu mengerahkan pertahanan yang terorganisasi. Antara tahun 1150 dan 1300, suku Inca di sekitar Cusco mulai memanfaatkan iklim yang semakin hangat di kawasan Andes.

Di saat suhu menghangat, para petani Inca berpindah mendaki lereng setinggi 250 hingga 300 meter, membangun ladang pertanian terasering, mengairi ladang, dan menikmati panen jagung terbesar pada masa itu. “Keadaan surplus ini, menyebabkan suku Inca dapat mengizinkan banyak orang untuk bekerja di bidang lain, baik menjadi pekerja untuk membangun jalan atau menjadi tentara,” ujar Alex Chepstow-Lusty, ahli paleoekologi di Lembaga Prancis untuk Kajian Andes di Lima. Pada waktu yang tepat, para penguasa Inca berhasil merekrut lebih banyak orang untuk menjadi tentara dan memasok logistik untuk pasukan yang lebih besar.

Para raja Inca mulai mengincar tanah dan sumber daya milik kerajaan lain. Mereka menggalang persekutuan lewat perkawinan dengan para penguasa kawasan yang bertetangga, menikahi putri-putri mereka, dan memberikan hadiah berlimpah kepada sekutu baru. Apabila penguasa yang menjadi saingan itu menolak uluran tangan mereka atau memunculkan masalah, barulah mereka menggunakan kekuatan pasukan bersenjata. Di semua lembah di sekitar kerajaan Inca, satu per satu para penguasa setempat itu takluk, hingga menyisakan satu negara besar dan satu ibukota, kota suci Cusco.

Setelah berlimpah kemenangan dan bergelimang harta, para raja Inca semakin bersemangat memperluas daerah kekuasaannya ke wilayah yang lebih jauh lagi, ke kawasan kaya di sekeliling Danau Titicaca. Tidak lama setelah tahun 1400, salah seorang raja Inca yang terhebat, Pachacutec Inca Yupanqui, mulai menyusun rencana untuk menaklukkan kawasan selatan. Inilah masa awal kerajaan Inca.

Sambil berkumpul di dataran Peru yang tinggi dan dingin di utara danau luas itu pada pertengahan tahun 1400-an, pasukan tentara Colla menantang para penyerbu Inca untuk menyerang. Pachacutec memindai tentara musuh dalam kesenyapan, mempersiapkan diri untuk menghadapi pertempuran besar yang menghadang di depan. Para penguasa kawasan Titicaca adalah orang-orang angkuh, menguasai 400.000 orang di sejumlah kerajaan yang tersebar mengelilingi danau. Tanah mereka subur dan sangat memikat. Emas dan perak menghiasi pegunungan, dan kawanan alpaca (Vicuna pacos) dan llama (Lama glama) merumput di padang yang subur. Seekor llama, satu-satunya hewan angkutan di benua itu, sanggup membawa 30 kilogram peralatan di punggungnya. Llama, serta alpaca, juga berfungsi sebagai penyedia daging, kulit, dan bulu untuk dijadikan pakaian. Mereka ibarat mobil jip, ransum untuk tentara, dan pakaian yang berasal dari satu sumber daya—aset militer yang amat penting. Jika raja Inca tidak dapat menaklukkan para penguasa Titicaca yang memiliki kawanan hewan dalam jumlah besar ini, dia pasti hidup dalam keresahan, setiap saat khawatir diserang para penguasa itu yang datang untuk menaklukkannya.

Pachacutec yang duduk di atas tandu yang penuh hiasan, mengeluarkan perintah untuk menyerang. Sambil meniup seruling panpipes yang diukir dari tulang-belulang musuh, dan tambur perang yang dibuat dari kulit yang dikelupas dari musuh yang sudah mati, pasukannya bergerak maju menuju pasukan Colla. Kedua pasukan itu pun berperang. Tatkala pertempuran usai, tubuh suku Colla bergelimpangan memenuhi medan perang.

Pada tahun-tahun berikutnya, Pachacutec dan keturunannya menaklukkan semua penguasa kawasan selatan. “Kemenangan atas Ceruk Titicaca ibarat permata pada mahkota Kerajaan Inca,” ujar Charles Stanish, ahli arkeologi di University of California, Los Angeles. Namun, kemenangan militer hanyalah langkah pertama dalam strategi besar untuk membangun kerajaan Inca. Berikutnya, para perwira mulai mengendalikan rakyat yang ditaklukkan.

Jika ada provinsi yang menyiapkan perlawanan, para raja Inca melakukan relokasi penduduk, mendeportasi penduduk yang keras kepala ke pedalaman Inca dan mengganti mereka dengan orang-orang yang setia. Penghuni pedesaan terpencil yang dikelilingi benteng dipindahkan ke sejumlah kota baru yang dikendalikan Inca, berlokasi di sepanjang jalan di kawasan Inca—jalan yang mempercepat pergerakan tentara Inca. Para gubernur Inca memerintahkan pembangunan lumbung pangan di sepanjang jalan untuk pasukan tentara dan memerintahkan masyarakat setempat mengisi semua lumbung itu dengan bahan pangan dan barang keperluan lain. “Suku Inca adalah orang Amerika yang sangat pintar mengelola,” ujar Stanish.

Di bawah pemerintahan Inca, peradaban Andes tumbuh subur ke tingkat yang belum pernah dicapai sebelumnya. Para insinyur Inca mengubah jaringan jalan yang terputus-putus menjadi jalan raya yang saling berhubungan. Para petani Inca menguasai teknik pertanian dataran tinggi, membudidayakan sekitar 70 tanaman pribumi dan sering menimbun bahan pangan yang cukup untuk tiga hingga tujuh tahun di dalam kompleks penyimpanan yang sangat luas. Para pejabat istana sangat menguasai teknik pengawasan inventaris, melacak isi lumbung di seluruh kerajaan dengan semacam sandi komputer purba Andes—tali berwarna dan bersimpul yang dikenal sebagai quipus. Dan para pandai batu Inca mendirikan mahakarya arsitektur yang tidak lapuk oleh waktu, seperti Machu Picchu.

Ketika raja Inca Huayna Capac berkuasa pada sekitar 1493, tampaknya tidak ada yang tidak bisa ditaklukkan oleh dinasti Inca. Supaya ibukota barunya di Ekuador menjadi lebih megah, Huayna Capac mempekerjakan 4.500 pemberontak untuk bekerja mengangkut balok-balok batu berukuran sangat besar dan asalnya jauh dari Cusco yang berjarak 1.600 kilometer, mendaki dan menuruni jalan pegunungan yang curam. Di pedalaman Inca, kelompok kecil lelaki dan perempuan bekerja keras membangun pesanggrahan kaum bangsawan untuk Huayna Capac dan keluarganya. Atas perintah raja, mereka membelokkan aliran Sungai Urubamba ke sisi selatan lembah. Mereka meratakan perbukitan dan mengeringkan rawa, kemudian menanam jagung dan palawija lain seperti kapas, kacang tanah, dan cabai (Capsicum) dari seluruh penjuru kerajaan. Di pusat permukiman itu, dari batu dan bata mereka membangun istana negara baru Quispiguanca untuk Huayna Capac.

Ketika siang mulai berganti senja, saya berjalan-jalan di reruntuhan Quispiguanca bersama Alan Covey, ahli arkeologi dari SMU. Quispiguanca, yang berlokasi di tepian kota modern Urubamba, memiliki iklim yang paling hangat dan kaya sinar matahari di kawasan itu. Ke tempat inilah keluarga kerajaan Inca berlibur, menghindari cuaca dingin di Cusco. Pesanggrahan itu sekarang menghadap ke ladang ketumbar (Coriandrum sativum) yang wanginya menyengat, dan dindingnya yang masih bertahan mengelilingi kompleks istana yang dulu terhampar di kawasan yang luasnya setara dengan sekitar tujuh lapangan sepak bola.

Quispiguanca dikelilingi taman, padang, dan kebun, ibarat Istana Bogor versi Inca, tempat melepaskan diri dari kerumitan dunia, tempat bagi sang raja pejuang untuk bersantai setelah bertempur. Di sini Huayna Capac menjamu para tamu di balairung yang luas serta berjudi bersama para bangsawan istana dan sahabat, sementara permaisurinya berkebun dan mengurus burung dara. Di tanah itu terdapat pesanggrahan yang terlindung dan hutan yang dicadangkan untuk berburu kijang dan hewan lain. Di padang, ratusan orang pekerja membersihkan saluran irigasi, mendirikan dan memelihara dinding berundak-undak, serta menanam benih jagung dan sejumlah tanaman eksotis. Kegiatan ini memberi Huayna Capac panen berlimpah dan bir jagung yang cukup untuk menjamu para tamunya dengan penuh kemewahan selama berlangsungnya festival tahunan Cusco.

Quispiguanca bukan sekadar kompleks pesanggrahan yang menakjubkan. Para raja Inca hanya mendapatkan warisan dalam jumlah kecil selain gelar sebagai raja, sehingga setiap penguasa baru membangun istana di kota dan pesanggrahan sendiri untuk dirinya dan keturunannya, tidak lama setelah naik takhta. Sampai sejauh ini, para ahli arkeologi dan ahli sejarah telah berhasil menemukan reruntuhan sekitar belasan istana kerajaan yang dibangun oleh sedikitnya enam orang raja Inca.

Bahkan setelah para raja ini wafat, mereka tetap merupakan kekuatan di balik takhta. “Leluhur merupakan unsur penting dalam kehidupan warga Andes,” kata Sonia Guillen, Direktur Museo Leymebamba Peru. Ketika Huayna Capac wafat karena penyakit misterius di Ekuador pada sekitar 1527, para abdi berstatus tinggi membalsem dan membalut tubuhnya menjadi mumi dan membawanya kembali ke Cusco. Anggota keluarga kerajaan sering mengunjungi raja yang sudah wafat itu, meminta nasihat yang menyangkut hal-hal penting, dan mematuhi jawaban yang diberikan oleh oracle (semacam dukun yang dianggap bisa berhubungan dengan orang yang sudah meninggal) yang duduk di samping jasadnya. Bertahun-tahun setelah wafat, Huayna Capac masih tetap pemilik Quispiguanca dan pesanggrahan di sekitarnya.

Saat musim hujan 1533, waktu yang dianggap bagus untuk upacara penobatan raja. Ribuan orang berkumpul di alun-lun utama Cusco untuk merayakan tibanya raja baru mereka yang masih remaja. Dua tahun sebelumnya, saat sedang berkobar perang saudara, para penyerbu asing mendarat di utara. Dengan mengenakan baju baja dan menyandang senjata baru yang mematikan, bangsa Spanyol menempuh perjalanan menuju kota Cajamarca di kawasan utara Inca, dan di situlah mereka menawan raja Inca, Atahuallpa. Delapan bulan kemudian, mereka membunuh tawanan bangsawan itu, dan pada 1533 pemimpin mereka, Francisco Pizarro, menunjuk seorang pangeran muda, Manco Inca Yupanqui, memerintah sebagai raja boneka.

Dari kejauhan terdengar suara para pemanggul tandu raja muda itu menggema di sepanjang jalan, menyanyikan lagu-lagu pujian. Dalam keheningan, orang-orang yang merayakan peristiwa itu memperhatikan sang raja remaja memasuki alun-alun, diiringi mumi para leluhurnya, masing-masing mengenakan pakaian serba indah dan duduk di atas tandu yang dihias dengan semarak. Para raja dan selir yang sudah menjadi mumi itu mengingatkan mereka semua bahwa Manco Inca adalah keturunan raja. Para penguasa kerajaan lain mungkin sudah cukup puas menampilkan gambar leluhur agung mereka dalam bentuk ukiran atau lukisan. Para raja Inca melakukannya dengan lebih meyakinkan, yakni dengan menampilkan jasad para leluhur mereka yang diawetkan dengan sangat piawai.

Pada bulan-bulan selanjutnya, bangsa Spanyol merampas istana Cusco dan pesanggrahan di pedesaan yang luas, lalu menjadikan para wanita bangsawan menjadi gundik atau istri. Dengan murka, Manco Inca melancarkan pemberontakan dan pada 1536 berusaha menyingkirkan para penyerbu asing itu dari negerinya. Ketika pasukannya menelan kekalahan, dia melarikan diri meninggalkan Cusco menuju kota hutan Vilcabamba, dan dari situ dia melancarkan perang gerilya. Pasukan Spanyol baru berhasil menaklukkannya pada 1572.

Dalam kekacauan selama beberapa dasawarsa itu, jaringan jalan, pergudangan, kuil, dan permukiman suku Inca yang luas itu perlahan-lahan mulai tidak terawat. Di saat kerajaan mulai runtuh, suku Inca dan keturunan mereka berupaya keras melestarikan berbagai lambang kekuasaan kerajaan. Para abdi kerajaan mengumpulkan jasad para raja yang disucikan yang sangat berharga itu dan menyembunyikan semuanya di sekitar Cusco, dan di lokasi itulah mereka memuja leluhur mereka secara diam-diam—dan menentang para pendeta Spanyol. Pada 1559 gubernur Cusco, Juan Polo de Ondegardo, memutuskan untuk mengakhiri pemujaan ini. Dia melancarkan pencarian secara resmi untuk menemukan jasad para raja, menanyai ratusan orang Inca. Dengan informasi yang berhasil digalinya, dia mencari dan merampas 11 jasad raja dan beberapa jasad ratu Inca.

Selama beberapa bulan, para pejabat pemerintahan kolonial di Lima memajang mumi Pachacutec, Huayna Capac, dan dua bangsawan lain sebagai pajangan di
Rumah Sakit San Andrés di Lima, fasilitas yang hanya menerima pasien warga Eropa. Akan tetapi, iklim pantai yang lembap mulai membusukkan jasad-jasad tersebut. Jadi, para pejabat Spayol menguburkan para raja Inca yang perkasa itu secara diam-diam di Lima, jauh dari Andes dan rakyat yang mencintai dan memuja mereka.

Selama berbulan-bulan Bauer dan rekan kerjanya meneliti denah arsitektur tua Rumah Sakit San Andrés, yang sekarang sudah menjadi sekolah perempuan di pusat kota Lima. Pada akhirnya mereka berhasil mengidentifikasi beberapa kemungkinan tempat penguburan Pachacutec dan Huayna Capac. Dengan menggunakan radar yang dapat menembus tanah, mereka memindai kawasan yang paling besar kemungkinannya, dan menemukan sesuatu yang tampaknya merupakan kuburan bawah tanah yang berlangit-langit tinggi.

Ketika akhirnya para ahli arkeologi menggali dan membuka pintu ruangan yang berdebu itu, mereka sangat kecewa. Makam itu kosong. Mungkin sekali, ujar Bauer, para pekerja mengambil isinya ketika memugar rumah sakit setelah terjadi gempa bumi dahsyat. Dewasa ini tidak seorang pun mengetahui di mana para raja besar Peru itu berada. Bauer menyimpulkan dengan sedih, “Lokasi mumi para raja Inca tetap tidak diketahui.”

sumber: national geographic indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar