02 Agustus 2011

Teknologi di Balik Pembangunan Borobudur


Borobudur, sebuah candi megah di Magelang, Jawa Tengah, diperkirakan dibangun sekitar tahun 824 Masehi oleh Raja Mataram bernama Samaratungga dari dinasti Syailendra. Candi yang begitu berat itu berdiri kokoh tanpa ada satu paku pun juga tertancap di tubuhnya.

Pertanyaan pun selama ini mengemuka: bagaimana membangun Borobudur tanpa menancapkan ratusan paku untuk mengokohkan pondasinya, dan bagaimana batu-batu berat yang membentuk Borobudur itu diangkat ke lokasi pembangunan di atas bukit?

Kecanggihan masa kini pun sulit menjelaskan logika di balik pembangunan Candi Borobudur. Peneliti Indonesia dari Bandung Fe Institut, mencoba menjawabnya. Ketiga peneliti muda itu, Hokky Situngkir, Rolan Mauludy Dahlan, dan Ardian Maulana, menjelaskan, pembangunan Candi Borobudur menggunakan teknologi berbasis geometri fraktal.

Fraktal adalah bentuk geometris yang memiliki elemen-elemen yang mirip secara keseluruhan. Wujud fraktal kasar dan dapat dibagi-bagi dengan cara yang radikal. Fraktal memiliki detail yang tak terhingga, dan dapat memiliki struktur serupa pada tingkat perbesaran yang berbeda. Istilah ‘faktal’ yang diambil dari bahasa Latin itu ditemukan oleh Benoit Mandelbrot pada tahun 1975.

Geometri fraktal itulah yang tampak pada stupa-stupa Candi Borobudur. Seperti kita ketahui, Candi Borobudur merupakan stupa raksasa yang di dalamnya terdiri dari stupa-stupa lain yang lebih kecil.

Peneliti Bandung Fe Institut membuktikan, Candi Borobudur ternyata dibangun dengan prinsip-prinsip fraktal. Namun apakah teori fraktal pada masa lalu telah ditemukan dan diimplementasikan secara sadar oleh nenek moyang kita, masih harus diteliti lebih lanjut.



Ternyata konsep fraktal tak cuma diterapkan nenek moyang bangsa Indonesia melalui batik dan budaya tekstil saja.

Secara turun temurun tradisi fraktal ini telah mengejawantah dalam desain dan bentuk bangunan peninggalan sejarah seperti candi. Hal ini disimpulkan oleh kelompok riset Bandung Fe Institute, yang selama beberapa tahun terakhir meneliti fraktal dalam kebudayaan Indonesia.

Fraktal adalah bentuk geometris yang memiliki elemen-elemen yang mirip dengan bentuknya secara keseluruhan. Seringkali suatu fraktal memiliki pola tertentu yang mengulang dengan bentuk rekursif dan iteratif.

Salah satu bangunan monumental yang telah menerapkan konsep geometri fraktal, menurut mereka adalah Candi Borobudur, yang ditetapkan sebagai salah satu World Heritage Site (situs peninggalan sejarah dunia) oleh UNESCO.

"Pengukuran yang kami lakukan pada setiap bagian Candi Borobudur, mengkonfirmasi hal ini secara matematis," ujar Hokky Situngkir, peneliti dan President Bandung Fe Institute, dalam sebuah rekaman Videocast yang ia unggah di situs video YouTube.

Menurut Hokky, Borobudur adalah bangun ruang yang memiliki keserupaan dengan elemen-elemen dirinya sendiri. Di dalam Borobudur, misalnya, ada banyak bentuk geometri stupa. "Candi borobudur sendiri adalah stupa raksasa yang di dalamnya terdiri dari stupa-stupa lain yang lebih kecil. Terus hingga ketidakberhinggaan," ia menjelaskan.

Selain itu, Hokky menjelaskan, hal ini juga diverifikasi oleh pengukuran Parmono Atmadi dari UGM, yang menemukan keteraturan bangunan Borobudur yang memenuhi unsur perbandingan 9:6:4.

Rasio itu, misalnya hadir pada perbandingan ukuran tinggi tiga bagian Candi, yakni bagian Arupadhatu (dunia tanpa bentuk) - bagian stupa utama dan stupa-stupa yang membentuk lingkaran, bagian Rupadhatu (dunia bentuk) - bagian yang mencakup stupa-stupa yang berada di landasan berbentuk persegi, serta bagian Kamadhatu (dunia nafsu) - bagian kaki.

Hokky juga mengatakan, bahwa sebenarnya stupa sendiri merupakan bentuk ellipsoid 3 dimensi yang memenuhi rasio 9:6:4. "Keteraturan ini kita jumpai di seluruh bagian Borobudur, baik secara horizontal maupun vertikal," katanya.

Tak hanya itu, kata Hokky , hasil observasinya terhadap Borobudur menyimpulkam bahwa dimensionalitas Borobudur memenuhi dimensi fraktal antara 2 dan 3. "Kalkulasi kita menemukan bahwa dimensionalitas bangunan candi Borobudur ada di antara 2 dan 3," kata Hokky melalui surat elektroniknya kepada VIVAnews.

Dengan pemodelan komputasional cellular automata, ditemukan bahwa candi ini memenuhi aturan 816 celullar automata 2 dimensi pada sistem ruang 3 dimensi. Ini digunakan pada saat mereka nenek moyang kita saat membuat Borobudur menumpuk blok batuan dengan pola penumpukan batuan 6,7, 9, 10.

Secara konvensional kita mengenal konsep dimensi, yang merupakan 'bilangan bulat'. Dimensi 1 direpresentasikan dengan garis, dimensi 2 dengan bidang, dimensi 3 dengan ruang, dimensi 4 dengan ruang dan waktu, dan seterusnya.

Nah, Fraktal adalah konsep geometri yang mengenal dimensi 'bilangan pecahan'. "Jadi Candi Borobudur bukanlah bangun ruang 3 dimensi biasa dan tak tepat pula dilihat sebagai bentuk-bentuk 2 dimensi. Candi Borobudur ada di antara dimensi 2 dan 3!," ujar Hokky yang juga peneliti pada Surya Research International.

Sebelumnya, hipotesis tentang adanya sifat fraktal pada beberapa bangunan candi sudah mengemuka sejak beberapa tahun lalu. Hal yang sedikit membingungkan adalah, nenek moyang kita tidak mengenal ukuran metrik standar, namun mereka mampu membuat bangunan-bangunan yang demikian kompleks seperti Borobudur.

"Bagaimana mungkin sebuah peradaban yang tak punya sistem metrik standar, pemahaman mekanika dan statika modern, mampu mendirikan bangunan yang sedemikian kompleks seperti Borobudur? Jawabannya adalah cara ber-geometri nenek moyang kita mungkin adalah fraktal geometri!" kata Hokky.

Borobudur sendiri adalah candi yang diperkirakan mulai dibangun sekitar 824 M oleh Raja Mataram bernama Samaratungga dari wangsa Syailendra, yang menganut agama Budha Mahayana.

Candi yang memiliki 2.672 panel relief, serta 504 patung Buddha, itu sempat terkubur oleh lapisan vulkanik selama beberapa abad dan dikelilingi oleh rerimbunan hutan, sebelum akhirnya ditemukan kembali pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles.

sumber: vivanews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar